Minggu, 31 Juli 2011

6 Bulan dalam Perahu (Fiuuuhh)


JAKARTA - Apa jadinya jika tubuh bebas berpikir? Bebas menafsirkan ruang, waktu, dan segala sesuatu yang merangsangnya bergerak? Itulah yang dieksplorasi Teater Kafe Ide ketika mementaskan lakon Perahu di selasar PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten, Sabtu (27/5). Dengan pendekatan acting biomechanics Meyerhold, tak ayal, lakon itu menyempal dari konsep teater mapan dan mengalir dengan jenial. Sutradara sekaligus penulis naskah Nandang Aradea didukung Wan Anwar, Arif Senjaya, dan Ahdi Zakhrul Amri. Mereka mementaskan lakon itu pada 25-27 Mei. Para pemain: Ilmi, Nova, Indri, Artha, Novel, Muspiroh, Oji, dan Dewi. Mereka juga akan menggulirkan tontonan itu setiap tanggal 1-5 sejak bulan Juni sampai Oktober 2006. Jika terwujud, itulah lakon teater terlama yang dipentaskan di Indonesia, yakni 33 kali pementasan selama setengah tahun. Dengan setting susunan bambu malang melintang, perancang panggung Otong Iron Durahim menawarkan konsep tak kalah lazim. Tiga belas pemain yang mematangkan diri selama dua bulan menjadikan tubuh mereka menyatu dengan panggung. Mereka berjumpalitan, menungging, menggeliat, terkapar, terjerembap di sesela bambu yang saling berkait. Martir. Kemustahilan dan segala ketakmungkinan menjadi energi, spirit, gelegak yang menghidupkan lakon 80 menit itu. Tuturan realitas pentas bukan bertolak dari bahasa verbal. Lakon itu telah membunuh bahasa verbal. ''Buat kami, bahasa verbal sangat represif dan tak sanggup lagi mewadahi aspirasi dan realitas pikiran, perasaan, dan kesadaran. Namun lebih ke emosi arkaik dan naluri bermain,'' ujar Nandang, seusai pementasan yang disaksikan lebih 200 orang itu. Kesan visuallah yang ingin dia sampaikan. Tubuh pun menjadi subjek sekaligus korban. ''Karena tubuh adalah objek dan martir di tengah kekuasaan benda-benda. Karena itulah para aktor mengartikulasikan tubuh mereka di air, di perahu, dan di udara,'' katanya. Pilihan lakon pun bukan tanpa sebab. "Kecenderungan cara berpikir dan bertindak orang Indonesia adalah darat dan melupakan laut. Imajinasi kita adalah darat, bukan laut. Pemerintah kita adalah darat, rakyat kita adalah darat, pikiran kita adalah darat, dan tubuh kita juga darat.'' Lewat Perahu, lewat bahasa tubuh, mereka mengajak penonton menjadi bagian pertunjukan. Lalu, memalingkan pikiran ke laut. Tidak melulu ke darat. (G20-53)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar